Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, mungkin kalimat ini yang diinginkan bangsa indonesia ketika melihat situasi perpolitikan di negara indonesia saat ini. Keadilan yang diinginkan adalah keadilan keseluruhan bukan hanya untuk segelintir orang.

Memang, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” adalah salah satu dari lima sila yang disebut pancasila. Tetapi sila inilah yang selalu dilanggar oleh segelintir orang yang berkepentingan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan matinya hukum di indonesia. Kasus kasus KKN yang menjerat para birokrat didiamkan, kalaupun ditindak, hukuman itu tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukannya.

Selasa, 28 Mei 2013

Gerakan Mahasiswa : Mau Dibawa Kemana Arah Pergerakan Mahasiswa?


Awal kepengurusan organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktu yang tepat untuk mewacanakan kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang kadang terlewatkan di antara sebagian aktivis kampus. Padahal sebenarnya, ini selalu menjadi hal yang menarik dan krusial, khususnya sebagai jawaban dari pertanyaan mau dibawa kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini. Artikel ini memiliki tujuan untuk melihat kembali perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawaran diagnosis bagi gerakan ke depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saat melihat gerakan mahasiswa saat ini semakin kehilangan arah dan basis massanya.
Gerakan mahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang selalu didengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru melenakan dan menina-bobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan mahasiswa menuntut adanya posisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana mahasiswa seharusnya berada di tengah masyarakat. Menjawab soal tersebut, sebuah analisa tentang posisi mahasiswa secara teoritis sangat dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya dalam ’mengabdikan´dirinya pada masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme gerakan mahasiswa saat ini membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai landasan geraknya. Bukan untuk menjadikan mahasiswa berteori secara saklek dan kaku, tetapi sebagai landasan gerak yang jelas bagi langkah ke depan. Pentingnya teori dalam gerakan ini pernah dinyatakan Lenin, ‘Tanpa teori yang revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.’

Ø  Belajar dari sejarah
Gerakan mahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris. Gerakan ini telah melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan geografis yang luas. Artinya, gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya dengan locus spesifik Indonesia. Justru, gerakan mahasiswa Indonesia merupakan bagian dari kesejarahan gerakan mahasiswa secara luas di dunia.
Dalam sejarah, secara umum gerakan mahasiswa Indonesia melegenda dalam masa-masa tertentu. Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan dengan hapal momentum itu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 diakui sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun, sebenarnya, yang perlu dilakukan mahasiswa Indonesia saat ini bukanlah mengagung-agungkan gerakan mahasiswa pada masa itu dengan menyebut-nyebutnya secara heroik. Mengapa demikian, karena perilaku itu justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme masa lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Bukan bermaksud meremehkan peran mahasiswa pada masa itu, tetapi pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusuk adalah tak mengubah keadaan sedikit pun.
Hal yang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas ‘mitos-mitos’ di atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksi kembali apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas realitas sekarang. Secara real memang kondisi sosialnya jelas berbeda, tetapi pola-pola pembacaan atas kondisi yang terjadi patut untuk dilihat. Berangkat dari tesis bahwa gerakan mahasiswa bersifat historis, maka belajar dari masa lalu adalah upaya mempelajari pola-pola gerakan tersebut secara kritis. Hal ini perlu dilakukan agar wawasan tentang gerakan mahasiswa tidak sempit. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari fakta sejarah yang telah terukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa sebagai bahan analisa.
Mahasiswa Amerika Latin adalah pemberi contoh yang baik bagaimana mahasiswa berperan dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya Manifesto Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak mahasiswa yang pertama di dunia, dan sejak itu mahasiswa di sana memainkan peran yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Manifesto Cordoba adalah deklarasi mahasiswa yang menuntut adanya otonomi akademik universitas dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas (cogobierno). Hal ini berangkat dari adanya administrasi lama yang tidak pernah memberikan ruang untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orang ketakutan bila melakukan perubahan. Hal yang dinyatakan dalam manifesto tersebut salah satunya, ‘Kami ingin menghapus dari organisasi universitas konsep tentang otoritas yang kuno dan barbar, yang menjadikan universitas benteng pertahanan tirani yang absurd.
Program reformasi total yang diinginkan mahasiswa berusaha mendobrak pandangan konservatif akan universitas, dengan memberikan independensi penuh pada universitas dari kooptasi kepentingan politik pemerintah, juga memberikan kesempatan mahasiswa untuk berbagi kekuasaan dalam kampus. Hal ini merupakan refleksi atas kondisi sosial politis di Amerika Latin yang dikuasai pemerintahan otoriter, yang jangkauan kekuasaannys juga masuk ke dalam ranah akademik universitas. Kondisi yang demikian kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa secara bertahap memperluas tuntutannya pada hal yang lebih bersifat politis, yaitu perlawanan pada rezim yang otoriter. Hal ini karena adanya kesadaran bahwa kebijakan universitas tersebut hanya sebatas symptom, perlu penghajaran pada akar penyakitnya. Perlawanan atas rezim tersebut dilakukan dengan membentuk berbagai aliansi dan front bersama buruh dan petani sehingga dalam kenyataannya mahasiswa tidak bergerak sendiri. Dalam jangka waktu 20 tahun, perlawanan mahasiswa dari Argentina ini menyebar ke seluruh Amerika Latin. Di Peru tahun 1919, Chili 1920, Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil dan Bolivia 1928, Meksiko 1929, Kosta Rika 1930, dan Kuba pada tahun 1933 dan 1952. Setiap negara memiliki karakternya masing-masing, sehingga tingkat keberhasilan dan durasi pencapaiannya pun berbeda-beda. Ada yang menang dengan menggulingkan rezim otoriter, ada juga yang hanya setengah-setengah dengan mendapatkan otonomi sementara. Namun setidaknya, mahasiswa Amerika Latin mengajarkan kepada kita jika tuntutan akademis dan aktivitas politik merupakan dua hal yang saling melengkapi, bukan saling bertentangan.
Di Italia perlawanan mahasiswa berawal dari Turin. Mahasiswa berhasil mengontrol aktivitas fisik dan intelektual kampus mereka melalui kegiatan-kegiatannya sendiri. Selama sebulan kampus berhasil di duduki (27 November 1967-27 Desember 1967), sebelum aparat menyerbu kampus tersebut.  Sejak itu perlawanan meluas ke beberapa kota sepanjang jazirah Italia. Alasan utama mahasiswa melakukan perlawanan adalah karena kondisi akademis yang otoriter. Tradisi pedagogi dan kurikulum menjadikan profesor-profesor di sana dapat mengajar dengan seenaknya sendiri, misalnya, para professor di sana memberi kuliah dengan diktat yang ditulisnya sendiri dan ujian hanya diambil dari diktat tersebut. Tak ada ruang diskusi yang bebas dan kesempatan belajar dari sumber lainnya. Selain itu, kurikulum yang disusun sangatlah kuno, seperti silabus kuliah ilmu politik yang hanya sampai pada pemikiran JJ. Rousseau. Keterbatasan dan kekakuan akademis ini membuat mahasiswa ‘terkurung’ dalam kegiatan akademisnya sendiri. Oleh karena itu, agenda utama perlawanan mereka adalah kritikan atas kondisi akademis tersebut. Untuk mencapai itu, gerakan mahasiswa berusaha memperluas jangkauannya dengan keluar dari Turin, tentu dengan mengubah tuntutan secara praktis menjadi ‘Lawan Otoriterianisme.’ Tujuannya jelas agar diikuti seluruh mahasiswa di Italia. Efeknya dalam dua bulan (Januari-Februari 1968), gerakan mahasiswa ini meluas hingga seluruh kota di  Italia. Tidak hanya terdiri dari elemen mahasiswa saja, tetapi juga pelajar dan para buruh FIAT. Hal ini kemudian menyita perhatian publik dan membuat pemerintah tak tinggal diam. Represivitas terjadi dalam menghentikan perlawanan ini, sehingga setidaknya 2000 mahasiswa ditangkap dengan berbagai tuduhan. Kenyataan gerakan di Italia ini kemudian berhasil mengubah struktur akademis dan memaksa para professor melihat kembali kurikulum di dalam kampus. Juga mengubah kebijakan pendidikan nasional ke arah yang lebih egaliter dan terbuka.
Gerakan mahasiswa di Spanyol dilatarbelakangi dua hal, yaitu krisis dan perlawanan terbuka kepada rezim Franco dan kondisi internal Universitas. Secara umum, mahasiswa merupakan entitas yang kecil di Spanyol pada tahun 1965. Kondisi ini disebabkan oleh mahalnya biaya kampus dan sedikitnya subsidi dari pemerintah, sehingga mahasiswa dari kalangan buruh dan petani sangatlah kecil padahal mayoritas masyarakat berasal dari dua kelas tersebut. Hal ini kemudian diperparah dengan sulitnya mencari pekerjaan bagi para sarjana setelah lulus dari kampus.
Selain kondisi di atas, kooptasi rezim Franco dalam kampus sangatlah besar, termasuk dalam serikat mahasiswa. Hanya satu serikat mahasiswa yang diakui di Spanyol, yaitu Sindicato Espanol Universitario (SEU). Pimpinan serikat ini dipilih oleh pemerintah, meski akhirnya diberikan keleluasaan pada mahasiswa untuk memilih sendiri. Namun, mahasiswa tidaklah puas dengan hal tersebut dan kemudian mereka membuat serikat baru yang dinamakan Federacion Universataria Democratica de Espana (FUDE) dan ADEC. Keduanya kemudian melebur menjadi Confederacion Democratica de Espana (CUDE). Setelah terbentuknya serikat baru ini, mahasiswa mulai berani mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal serikat mahasiswa di kampus. Kritik mereka pada sistem Universitas kemudian merembet pada isu politik nasional. Reli-reli protes selalu dihadapkan pada bentrokan dengan aparat kepolisian. Guna menghadapi itu, mahasiswa kemudian membuka jaringan dengan buruh karena memiliki kesamaan isu, yaitu kebebasan berserikat. Rezim Franco yang fasis dan totaliter dijadikan musuh bersama karena memang dianggap sebagai akar masalah. Aliansi ini disahkan dengan mogok bersama pada tanggal 1-3 Mei 1968. Hal ini kemudian berakibat pada bentrokan dan penagkapan besar-besaran pada aktivis mahasiswa dan buruh. Namun perjuangan bersama antara mahasiswa dan buruh terus berjalan hingga rezim Franco runtuh.
Gerakan mahasiswa juga terjadi di Perancis, yang paling terkenal pada tahun 1968. Banyak versi yang menceritakan hal ini, namun bila mengikuti alur cerita dari Ernest Mandell, faktor utama dari protes mahasiswa di Perancis adalah adanya alienasi dalam kehidupan mahasiswa yang disebabkan oleh kampus. Mahasiswa dihadapkan pada sistem, struktur, dan kurikulum yang membuat mahasiswa semakin terk-eksklusi dari kehidupannya sendiri. Kampus membuat sistem ‘proletariat baru’ sehingga mereka tak diperkenankan dalam menentukan kehidupannya di kampus dan berpartisipasi dalam menentukan kurikulum. Semua sistem, struktur, dan kurikulum ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Mahasiswa tidak belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, tetapi diatur secara sistemik dalam kerangka besar untuk memenuhi kebutuhan industri. Hal ini kemudian menjadikan mahasiswa mulai protes terhadap kampusnya terkait permasalahan kampus. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka menyadari jika akar permasalahan bukanlah di kampus, tetapi sistem yang mengatur masyarakat secara luas, kampus dianggap hanya salah satu bagian dari masyarakat. Pola perlawanan pun bergeser. Mahasiswa kemudian berafiliasi dengan buruh dan elemen masyarakat lain untuk menentang sistem yang menyebabkan ‘alienasi’ tersebut, yaitu kapitalisme. Perlawanan meluas  tak hanya di kampus saja, tetapi hampir di seluruh wilayah Perancis. Pertarungan ini naik-turun selama periode 1968 dan mempengaruhi kenyataan politik di Perancis masa itu.

Ø  Berangkat dari Realisme, Menuju Emansipatoris
Bila kita perhatikan bersama terdapat beberapa pembelajaran dari gerakan mahasiswa di atas. Pembelajaran ini berkaitan dengan pembacaan realitas atas kondisi. Dari beberapa kasus, setiap gerakan mahasiswa umumnya berangkat dari permasalahan yang ada di sekitar mereka, hal itu kemudian diabstraksikan ke arah yang lebih mendasar untuk mencari akar masalahnya. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa selalu bermula dari realitas di sekitarnya, dari sesuatu yang real, dan kemudian diproblematisasi. Bila mengikuti logika ini, maka gerakan mahasiswa di atas melihat permasalahan dengan kacamata realisme kritis.
Berangkat dari realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan. Lantas kemudian timbul pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai realitas? Atau apakah yang disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari kita bedah apa yang disebut dengan realisme. Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat  kenyataan sebagai hal yang terpisah dari diri pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadi sesuatu yang ada secara in heren di luar diri pelaku, walau pelaku itu ada atau tidak. Hal ini berbanding terbalik dengan idealisme yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang ada karena idea di kepala mengatakan hal tersebut ada. Artinya, kenyataan ditetukan oleh pikiran atau anggapan seseorang. Dari perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jika permasalahan sosial sebagai sesuatu yang ada secara real di luar diri mereka. Ada atau tidak adanya gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu ada di masyarakat. Melihat hal tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul sebagai respon terhadap hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kemunculan gerakan mahasiswa tidak selalu disyaratkan secara deterministik oleh permasalahan secara real itu.
Realisme kritis sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis, yaitu (a) realitas empirik (realitas yang dapat dijumpai dengan panca indera), (b) realitas aktual (realitas yang dijumpai dalam ruang dan waktu), dan (c) realitas ‘real’ (realitas yang bersifat transfaktual dan lebih bertahan daripada persepsi kita karena ia berisi struktur yang memiiliki kapasitas kuasa dan menjadi dasar terdalam dari peristiwa-peristiwa yang diobservasi muncul). Hubungan dari ketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat. Artinya realitas (a) disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh realitas (c). Sehingga, realitas (a) merupakan manifestasi secara  empirik dari realitas (c). Oleh karena itu, realisme kritis selalu mensyaratkan untuk mendapatkan realitas  yang ‘real’ atau sejati dalam fenomena sosial, maka dibutuhkan sebuah cara untuk melampaui realitas empirik dan realitas aktual tadi dan berusaha tak terjebak dalam keduanya. Hal ini seperti apa yang dipaparkan Roy Bhaskar, bahwa pertama, dunia ada secara independen dari anggapan-anggapan kita terhadapnya sekaligus terdiferensiasi dan terstratifikasi; kedua, fenomena sosial muncul dari dalam relasi struktur menjadi aktual kemudian tampil secara empiric; ketiga, sehingga untuk mempelajari fenomena sosial, seseorang harus memulai dari bidang empirik, tetapi tidak boleh berhenti di situ saja melainkan harus terus bergerak ke bidang aktual hingga mendapatkan pemahaman di tingkat relasi-relasi terdalam dari struktur, yaitu kuasa.
Melihat pengalaman dari gerakan mahasiswa di atas, gerakan mahasiswa dapat dikatakan berangkat dari realitas empirik karena permasalahan yang di hadapi dapat ditangkap oleh pancaindera dan langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Di Amerika Latin hal itu dimulai dari permasalahan otonomi akademik, di Italia dari otoritarianisme akademik, di Spanyol karena kekangan berorganisasi, dan di Perancis karena ‘proletarianisasi’ kampus. Semuanya berangkat dari permasalahan yang empirik di hadapan mereka. Namun, seperti paparan Bhaskar tadi, untuk mendapatkan realitas yang ‘real,’ mereka tidak berhenti pada tataran permasalahan empirik saja, tapi terus melaju untuk melewati permasalahan aktual dan menuju permasalahan terdalam yang berasal dari relasi struktur, yaitu kuasa. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dari Amerika Latin, Italia, Spanyol dan Perancis kemudian menyadari jika permasalahan yang terjadi di dunia akademik mereka bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terdapat realitas lain yang menjadi sumber permasalahan mereka, permasalahan inilah yang disebut sebagai realitas ‘real.’ Realitas ‘real’ berhubungan dengan relasi kuasa secara struktural yang menjadi akar permasalahan itu. Itulah mengapa kemudian mereka bergerak maju menuju sesuatu yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan yang sejati atau ‘real’ tersebut. Di Amerika Latin gerakan mahasiswa kemudian menuntut dijatuhkannya otoritarianisme pemerintah, di Italia menuntut sistem akademik dalam tingkat nasional, di Spanyol menyerang fasisme Franco, dan di Perancis kemudian menyerang sistem kapitalisme pendidikan. Hal itu dilakukan saat mereka menemukan realitas ‘real’ tersebut dalam konteks saat itu.
Pembelajaran yang didapatkan dari pembacaan realitas yang telah dilakukan oleh kawan-kawan gerakan mahasiswa beberapa tahun lalu, dapat memberikan gambaran kepada gerakan mahasiswa sekarang untuk melihat permasalahan secara kritis. Berangkat dari realisme, dalam hal ini tentu dengan asumsi realisme kritis, adalah untuk mendapatkan gambaran struktur permasalahan sosial dengan kacamata ontologisme tersebut. Jargon bahwa mahasiswa berangkat dari realisme harus dijabarkan dengan asumsi seperti di atas. Mahasiswa berangkat dari realitas atau fenomena sosial secara empirik kemudian menuju sesuatu sesuatu yang ‘real,’ yang menjadi akar permasalahan tersebut. Sekaligus tidak terjebak dalam realitas empirik dan aktual saja. Pembacaan  realitas yang demikian, menurut saya, tak hanya untuk permasalahan yang tunggal saja. Analisa terhadap perkembangan isu sosial kemasyarakatan yang berlangsung secara paralel perlu untuk dilakukan dengan analisa seperti di atas, sehingga gerakan mahasiswa tak hanya berkutat pada satu isu ke isu lainnya saja, yang itu sebenarnya hanya realitas empirik. Perlu penarikan secara ontologis untuk melihat realitas ‘real’ yang terjadi. Permasalahan ‘real’ ini yang menjadi basis permasalahan untuk dihajar.
Penjabaran satu bagian telah dilewati, yaitu berangkat dari mana gerakan mahasiswa. Maka selanjutanya yang perlu kita upas, menuju kemanakah gerakan mahasiswa ini? Setelah realitas ‘real’ didapatkan lantas untuk apa diselesaikan?
Dalam pikiran saya, perjuangan gerakan mahasiswa menuju pada satu kata, yaitu emansipatoris. Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk humanisasi kehidupan manusia. Dalam pengertian humanisasi, pembebasan manusia dari belenggu yang diciptakan permasalahan secara ‘real’ tadi berusaha dilepaskan. Perjuangan emansipatoris berkaitan dengan sisi aksiologis dari ilmu pengetahuan yang menjadi domain mahasiswa selama ini. Dengan perjuangan emansipatoris, ilmu pengetahuan tak hanya berkutat di dunia kampus dan bebas nilai dalam menilai permasalahan. Ilmu pengetahuan yang emansipatoris mensyaratkan keberpihakan dan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Begitu pula gerakan mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika, maka keberpihakan dan terlibat dalam penyelesaian masalah sosial menjadi hal yang terhubung dengan perjuangan emansipatoris.
Dalam diri emansipatoris ini, keberpihakan menjadi arahan untuk menciptakan kesetaraan bagi subyek yang diperjuangkan. Selain itu, keberpihakan menjadi jaminan jika perjuangan mahasiswa bukanlah hal yang bebas nilai dan nihil. Terdapat subyek yang menjadi dasar analisa bagaimana perjuangan diarahkan dan ukuran kemenangannya. Sedangkan, aspek keterlibatan dalam penyelesaian masalah menjadi domain pembebasan bagi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa. Pembebasan ini merupakan langkah humanisasi dari belenggu permasalahan ‘real’ di atas. Dalam perjuangan emanispatoris ini, gerakan mahasiswa dituntut untuk terus kontinyu dalam denyut gerakan sosial masyarakat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari pembelajaran gerakan mahasiswa di atas, bagaimana perjuangan mereka diarahkan ke perjuangan emansipatoris. Gerakan mahasiswa setelah menemukan realitas ‘real’ nya, diarahkan untuk membebaskan diri dari belenggu itu, sekaligus menggabungkan diri dengan sektor lain di masyarakat untuk menghapuskan belenggu yang dihasilkan oleh realitas ‘real’ tadi. Penggabungan diri ini dilakukan karena pada umumnya permasalahan ‘real’ merupakan akar permasalahan bagi banyak permasalahan empirik yang sifatnya multi sektoral. Oleh karena itu, menurut saya, perjuangan emansipatoris tak dapat dilakukan dengan sendirian oleh gerakan mahasiswa. Penggabungan diri dengan gerakan lain di masyarakat perlu dilakukan dalam rangka pembebasan belenggu dari permasalahan yang berakar pada relasi struktur tadi.

Ø  Akhirnya
Melalui tulisan ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang dilakukan gerakan mahasiswa di berbagai belahan dunia menjadi hal yang penting. Setidaknya, bagaimana gerakan ini berangkat dan menuju ke arah mana. Analisa atas hal tersebut perlu mendapatkan porsi yang seimbang dalam dunia gerakan mahasiswa sekarang agar tak  menjadi ‘kerbau liar’ dalam dunia gerakan masyarakat.
Dengan analisa di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini harus berangkat dari realisme dan menuju perjuangan emansipatoris. Dengan ini berarti menyadari jika permasalahan sosial telah ada di luar sana, maka hal yang perlu dilakukan berikutnya adalah analisa untuk menemukan relasi-relasi struktur yang menjadi akar permasalahan sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal ini yang dimaksudkan dengan term Berangkat dari Realisme. Selanjutnya, adalah pengarahan untuk menuju arena pembebasan yang dilakukan secara bersama-sama dengan elemen masyarakat lain untuk menuju sebuah perjuangan yang emansipatoris. Perjuangan ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu permasalahan yang diciptakan oleh permasalahan ‘real’ tadi. Hal demikian menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa saat ini. Penjelasan tersebut, yang menurut saya, menjadi jawaban dari mana dan kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini (harus) bergerak!!!!!!!!!.

Senin, 27 Mei 2013

Pemilu : Kenapa Harus Rusuh???


Machiavelli dalam bukunya Il Principle menjelaskan bahwa untuk memperoleh kekuasaan, seseorang boleh melakukan apapun demi tercapainya keinginan tersebut, sepertinya sudah menjadi sebuah pembenaran dalam setiap proses pencapaian kekuasaan tertentu di Indonesia ini. Kita lihat, banyak sekali contoh dari penerapan teori kekuasaan yang satu ini. Tidak di propinsi-propinsi yang jauh dari kekuasaan (Jakarta) namun sepertinya sudah menjalar di seluruh Indonesia.
Peristiwa perebutan kekuasaan di Indonesia sepertinya tidak akan berubah dari zaman kerajaan-kerajaan dahulu, teori tesis dan antitesis tentang kekuasaan memang tepat sekali adanya di Indonesia, bahwa penguasa yang sekarang pasti merupakan antitesa dari kepemimpinan sebelumnya dan seterusnya.
Setiap orang yang ingin menjadi penguasa, berarti harus dapat mengalahkan lawan politiknya. Bahkan pada masa kerajaan dahulu, seorang calon penguasa harus bisa menyingkirkan, tidak hanya membunuh orang yang bersangkutan namun juga anak keturunan dari penguasa yang menjadi saingannya tersebut.
Dengan kata lain, kepemimpinan yang ada di Indonesia ini sepertinya merupakan sebuah proses yang selalu terhenti pada satu titik dan tidak pernah berkelanjutan.
Mengapa bisa terjadi seperti ini?
Mengapa setiap ada perhelatan pemilu Pasti terjadi kerusuhan?

Ø  Sama Saja
Adat dan tradisi kekuasaan di Indonesia sepertinya tidak pudar begitu saja meski katanya masa sekarang sudah lebih modern daripada masa-masa sebelumnya. Meskipun caranya berbeda, namun pada intinya dalam setiap perebutan kekuasaan ada saja yang merasa dizalimi, dirugikan entah oleh orang yang menjadi kompetitor atau oleh panitia pelaksana dari setiap momen pemilihan seorang pemimpin.
Kasus Pilkada yang diadakan di Sulawesi, Palembang, Jawa Timur dan tempat-tempat lain di Indonesia adalah contoh nyata  kasus terhentinya sebuah kontinuitas kekuasaan.
Para kontestan lebih mengedapankan kepentingan pribadi daripada kepentingan untuk kemaslahatan bersama. Meski dengan alasan untuk pembelajaran politik kepada masyarakat atau alasan karena salah satu kontestan yang dikalahkan merasa dizalimi, namun kenyataannya, semua alasan tersebut ujung-ujungnya bukan penyelesaian secara damai namun malah menimbulkan perpecahan dalam masyarakat sendiri.
Sebuah kepemimpinan dipilih dengan tujuan untuk mengabdi kepada masyarakat, bukan untuk memecah belah masyarakat namun pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya. Rakyat kecil banyak dikorbankan untuk mendapatkan kedudukan. Rakyat hanyalah alat dan media yang dapat dipoles sesukanya oleh sang pembuat skenario.
Inilah pembelajaran politik yang sebenarnya, yaitu sebuah proses yang bisa menggugah hati, membuka pikiran rakyat untuk dapat mengetahui bagaimana jalan pikiran dan tujuan dari calon pemimpin yang mereka calonkan dan mereka pilih. Bukan karena rasa loyal terhadap aliran, suku maupun golongan, akan tetapi lebih kepada hati nurani.
Sudah seharusnya rakyat melek dengan keadaan sekitar kita. Apakah perilaku para calon pemimpin yang akan kita pilih tersebut sudah benar atau belum. Meski kita tidak boleh memberikan vonis baik atau tidak baik kepada seseorang, akan tetapi dengan adanya banyak peristiwa yang kita hadapi, setidaknya rakyat Indonesia ini tidak hanya dijadikan ladang oleh pihak-pihak yang memang suka sekali menggunakan kesempatan dan kelemahan rakyat untuk kepentingan politik mereka.
Ini bukan berarti kita boleh pesimis. Meskipun di berbagai daerah di Indonesia dalam prosesi kepemimpinan daerah mengalami peristiwa yang sama, namun masyarakat Indonesia harus tetap percaya diri untuk melangsungkan proses kepemimpinan bangsa ini.
Sebagai rakyat biasa mari kita tonton setiap episode pertengkaran politik antar pemimpin kita, kita ambil hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut, jangan sampai terjadi perpecahan di negara ini hanya karena kepentingan sesaat saja. Yakinlah bahwa hari esok untuk negeri ini akan lebih baik daripada hari ini.

Kasus Bank Century : Praktek Nyata Budaya Tribalisme


Sebelumnya dalam perjalanan untuk menentukan keputusan pada sidang paripurna DPR masyarakat Indonesia kembali disuguhi adegan yang tidak mendidik. Sidang paripurna DPR kembali diwarnai kericuhan, penyebabnya Marzuki Alie sebagai Ketua DPR yang berasal dari Partai Demokrat sekaligus pemimpin sidang dianggap bertindak otoriter karena mengetuk palu sidang untuk mengakhiri sidang tanpa ada konsultasi dan persetujuan dari 3 wakil Ketua DPR lainnya yang kemudian diikuti oleh anggota DPR yang berusaha untuk memutuskan hasil pansus Century.
Kejadian kericuhan di dalam gedung DPR ini memang bukan untuk  yang kali pertama, sebab pada masa-masa sebelumnya kejadian tersebut pernah terjadi. Tiga wakil Ketua DPR kemudian mengadakan konferensi pers tentang kejadian yang berlangsung, ketiga-tiganya menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPR tersebut.
Kini masalah lain muncul sebagai tandingan atas riuhnya tudingan partai politik yang berseberangan dengan pemerintah yaitu masuknya 19 tokoh teras PDI Perjuangan yang tersangkut masalah pengangkatan Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Kini bukan lagi Partai Demokrat yang dilanda keresahan namun PDI Perjuangan-lah yang dibuat resah dengan munculnya kasus tersebut. Inikah budaya tribalisme (paham yang mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya dengan mengorbankan pihak lain yang berseberangan ideologi, kepentingan maupun politiknya) yang diajarkan oleh para pemimpin dan wakil rakyat kepada rakyat Indonesia?   

Ø  Budaya Tribalisme
Birokrasi dan lembaga kepartaian di negeri ini seperti sedang menderita sakit dengan obat yang over dosis, sehingga seolah berubah menjadi gurita yang memakan dirinya sendiri. Gejala tribalisme bisa dilihat dari perilaku KKN di dalam tubuh proses reformasi yang cenderung saling menghancurkan diantara kekuatan reformasi itu sendiri (Abdul Munir Mulkan. 2003:24). Hal ini dapat menjelaskan mengapa krisis nasional multi wajah yang sudah berlangsung beberapa tahun belum juga diatasi, bahkan meluas pada krisis moralitas dan kepercayaan sosial.
Lihatlah kasus-kasus besar yang akhir-akhir ini dipertontonkan oleh para pemimpin negeri ini. Praktek KKN, kriminalisasi kasus untuk kepentingan politik pihak tertentu, pengemplangan pajak, pelanggaran hukum untuk pemuasan diri, atau bahkan kasus-kasus yang melanggar norma meskipun mengatasnamakan undang-undang dan masih banyak lagi contoh lainnya yang memperlihatkan kebobrokan dunia hukum dan politik di negeri ini.
Justru keadaan kontras terjadi di sisi dan tempat lain yang berbeda yaitu di kehidupan rakyat bawah. Betapa takutnya masyarakat kecil untuk melakukan hal-hal kecil yang dianggap melanggar norma dan hukum karena mereka takut akan hukuman yang akan mereka terima yang tentu sangat tidak adil dan tidak sebanding dengan pelanggaran yang mereka lakukan.
Sungguh akan terjadi bila saja negeri ini memperbolehkan rakyatnya untuk melakukan penegakan hukum dengan tangannya sendiri, seperti seorang pencuri ayam yang harus babak belur atau  bahkan harus mati terpanggang ketika aksinya dipergoki oleh warga. Dan bayangkan berapa banyak jumlah pejabat negeri ini yang akan mengalami peristiwa yang serupa jika saja para koruptor dilepas di pusat-pusat keramaian tentu dia akan segera menjadi bulan-bulanan massa dan tidak lama kemudian akan menjadi mayat yang tidak ada harganya. Mengapa keadilan di negeri ini begitu sulit ditegakkan?
Seberapa besar perhatian para pemegang kekuasaan untuk memperhatikan kondisi masyarakat yang pada awal perjalanan karier mereka rakyat adalah pendukung dan ladang pendulangan suara. Mana janji yang pernah mereka sampaikan dalam kampanye politik menuju tampuk kekuasaan tersebut? Benarkah politik Tribalisme di negeri ini telah menjadi sebuah tradisi yang mengakar dan tidak akan dapat dihilangkan?
Tulisan ini bukan bermaksud untuk memprovokasi atau memanipulasi keadaan, namun lebih kepada keinginan agar keadilan benar-benar ditegakkan oleh para penguasa negeri ini, bukan keadilan yang tebang pilih atau keadilan untuk kepentingan tertentu.

Ø  Rakyat yang Malang
Masyarakat kecil atau yang biasa disebut rakyat, dari dulu mungkin tidak akan pernah berubah kondisi kehidupannya selama para pemegang kekuasaan masih menganggap bahwa kekuasaan mereka itu adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh diganggu serta digoyang oleh siapa pun, bahkan oleh rakyat yang merupakan pemilik kekuasaan yang sesungguhnya. Pandangan bahwa kekuasaan adalah amanat Tuhan memang bisa dijadikan dasar bagi sebuah kekuasaan. Namun, keyakinan yang sama  juga dengan mudah berarti tidak mungkinnya manusia mengganggu gugat atau mengontrol kekuasaan kecuali Tuhan sendiri.
Dalam hubungannya itulah kekuasaan negara atau kebangsaan begitu gampang menjadi penindas, diktator dan tirani. Inilah nasib kaum proletar tersebut di Indonesia, dari jaman kerajaan, penjajahan dan kemerdekaan keadaan tersebut tidak pernah berubah, bahkan lebih mengenaskan.
Kaum proletar memang ditakdirkan menjadi manusia yang malang, mereka hanya dijadikan pelengkap kehidupan dan pemenuhan ambisi orang-orang kaya atau pejabat dan mereka harus mampu bangun dan bekerja untuk kehidupannya sendiri. Mereka harus mampu mempertahankan amanat untuk terus meneruskan generasi, meskipun tertatih-tatih dalam menjalani hidup namun mereka masih berusaha keras agar tidak terlindas oleh kejamnya kehidupan. Kehidupan kejam yang sudah terkonsep, kehidupan yang mungkin dalam anggapan mereka akan sulit diubah kecuali oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Ketidakmanpuan rakyat merumuskan kepentingannya terutama melalui permainan politik, menjadikan apa yang dilakukan oleh rakyat seringkali menimbulkan kesulitan dan persoalan yang lebih rumit. Sementara itu, banyak di antara rakyat kebanyakan tidak mampu memahami apa yang sesungguhnya yang sedang mereka hadapi dan peroleh. Sayangnya, dalam banyak kasus aktifitas dan partisipasi rakyat yang demikian itu justru dianggap sebagai tindakan yang merongrong kewibawaan pemerintah, mengganggu stabilitas nasional dan tidak bersedia berkorban untuk kepentingan umum atau negara.
Dalam kondisi yang demikian tidak ada yang dapat dilakukan oleh kaum proletar kecuali mengalah kepada keadaan. Adilkah ini?  Sungguh  ketidakadilan tidak bisa ditegakkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan tidak memiliki mentalitas yang baik, khususnya untuk merubah keadaan yang tidak adil tersebut menjadi keadaan yang benar-benar berkeadilan. Keadilan yang benar-benar bisa dirasakan oleh semua pihak.

Ø  Mentalitas Baru
Anomi kehidupan, mungkin itu yang terjadi sekarang ini. Sebuah ketidakpedulian individu terhadap kehidupan di sekitarnya karena individu-individu tersebut merasa bahwa orang lain disekitarnya sudah tidak peduli lagi dengan dirinya, buat apa mereka peduli dengan orang lain sementara yang dipedulikan tidak lagi peduli dengannya. Perubahan kehidupan yang cepat yang kemudian mereka cari dengan mencari pelarian yang tidak bertanggungjawab. Mereka merasa gagal dalam hidup ini yang  kemudian membawa mereka kedalam kehidupan yang tidak bertanggungjawab.
Anggapan bahwa pemerintah tidak lagi memiliki kepedulian kepada rakyat kecil, mungkin akan menjadi salah satu factor yang akan menyebabkan sifat anomi tersebut. Masalah-masalah yang seharusnya diurus oleh pemerintah seperti kesejahteraan, kesehatan, pendidikan sepertinya jauh panggang dari api. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah anggapan mereka yang di atas sana (legislatif dan eksekutif) hanya memperkaya diri sendiri, mewakili diri sendiri dan bukan untuk menyejahterakan dan mewakili rakyat yang menjadi konstituennya.
Kegagalan manusia saat ini merupakan buah dari kegagalan pendidikan dinegeri ini dimasa yang lalu. Mentalitas yang terbentuk saat ini adalah mental-mental penerabas untuk kepentingan sesaat. Banyak kasus di negeri ini yang harus berakhir di penjara, karena memang dari awal oleh para pelaku sadar atau tidak sadar sudah mempersiapkan diri mereka untuk mengantre menjadi penghuni hotel prodeo tersebut. Beberapa pejabat yang tersangkut kasus korupsi misalnya, mereka lebih memilih tinggal di penjara dalam waktu yang cukup lama daripada harus mengembalikan uang hasil korupsi yang mereka lakukan selama mereka menduduki jabatan politik tertentu. Perhitungan mereka bukan lagi kepada moralitas akan tetapi lebih kepada perhitungan ekonomi.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mentalitas menerabas ini? Apakah kita harus melakukan amputasi terhadap  sebuah generasi? Jawabannya tentu bukan itu. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah dengan cara memperbaiki sistem pendidikan kita, terutama pendidikan moral, akhlak, dan pendidikan agama. Bangsa ini berbeda dengan bangsa lain dimana pun di belahan dunia ini, sehingga kita berhak untuk memberikan pendidikan yang benar-benar sesuai dengan karakteristik bangsa ini. Bangsa ini harus mampu membangun mentalitas baru, mentalitas yang berorientasi pada proses bukan tujuan.
Perlu keberanian dan ketulusan dari pemegang kekuasaan untuk menjadikan dirinya sebagai motivator sekaligus pemegang kendali di garda depan untuk merubah semua problematika kehidupan perpolitikan dan etika bernegara di negeri yang kita cintai ini. Kehidupan yang dipenuhi rasa peduli dan saling mendorong kearah kebaikan bukan kearah yang menyebabkan hancurnya bangsa ini. Semoga bangsa yang kita cintai ini dapat melalui masa-masa sulit seperti ini dan menjadi negeri yang benar-benar dapat dijadikan kebanggan bagi seluruh masyarakatnya. Semoga terlaksana Amiin.