Machiavelli
dalam bukunya Il Principle menjelaskan bahwa untuk memperoleh kekuasaan,
seseorang boleh melakukan apapun demi tercapainya keinginan tersebut,
sepertinya sudah menjadi sebuah pembenaran dalam setiap proses pencapaian
kekuasaan tertentu di Indonesia ini. Kita lihat, banyak sekali contoh dari
penerapan teori kekuasaan yang satu ini. Tidak di propinsi-propinsi yang jauh
dari kekuasaan (Jakarta) namun sepertinya sudah menjalar di seluruh Indonesia.
Peristiwa
perebutan kekuasaan di Indonesia sepertinya tidak akan berubah dari zaman
kerajaan-kerajaan dahulu, teori tesis dan antitesis tentang kekuasaan memang
tepat sekali adanya di Indonesia, bahwa penguasa yang sekarang pasti merupakan
antitesa dari kepemimpinan sebelumnya dan seterusnya.
Setiap
orang yang ingin menjadi penguasa, berarti harus dapat mengalahkan lawan
politiknya. Bahkan pada masa kerajaan dahulu, seorang calon penguasa harus bisa
menyingkirkan, tidak hanya membunuh orang yang bersangkutan namun juga anak
keturunan dari penguasa yang menjadi saingannya tersebut.
Dengan
kata lain, kepemimpinan yang ada di Indonesia ini sepertinya merupakan sebuah
proses yang selalu terhenti pada satu titik dan tidak pernah berkelanjutan.
Mengapa
bisa terjadi seperti ini?
Mengapa
setiap ada perhelatan pemilu Pasti terjadi kerusuhan?
Ø Sama Saja
Adat
dan tradisi kekuasaan di Indonesia sepertinya tidak pudar begitu saja meski
katanya masa sekarang sudah lebih modern daripada masa-masa sebelumnya. Meskipun
caranya berbeda, namun pada intinya dalam setiap perebutan kekuasaan ada saja
yang merasa dizalimi, dirugikan entah oleh orang yang menjadi kompetitor atau
oleh panitia pelaksana dari setiap momen pemilihan seorang pemimpin.
Kasus
Pilkada yang diadakan di Sulawesi, Palembang, Jawa Timur dan tempat-tempat lain
di Indonesia adalah contoh nyata kasus terhentinya sebuah kontinuitas
kekuasaan.
Para
kontestan lebih mengedapankan kepentingan pribadi daripada kepentingan untuk
kemaslahatan bersama. Meski dengan alasan untuk pembelajaran politik kepada
masyarakat atau alasan karena salah satu kontestan yang dikalahkan merasa
dizalimi, namun kenyataannya, semua alasan tersebut ujung-ujungnya bukan
penyelesaian secara damai namun malah menimbulkan perpecahan dalam masyarakat sendiri.
Sebuah
kepemimpinan dipilih dengan tujuan untuk mengabdi kepada masyarakat, bukan
untuk memecah belah masyarakat namun pada kenyataannya yang terjadi malah
sebaliknya. Rakyat kecil banyak dikorbankan untuk mendapatkan kedudukan. Rakyat
hanyalah alat dan media yang dapat dipoles sesukanya oleh sang pembuat
skenario.
Inilah
pembelajaran politik yang sebenarnya, yaitu sebuah proses yang bisa menggugah
hati, membuka pikiran rakyat untuk dapat mengetahui bagaimana jalan pikiran dan
tujuan dari calon pemimpin yang mereka calonkan dan mereka pilih. Bukan karena
rasa loyal terhadap aliran, suku maupun golongan, akan tetapi lebih kepada hati
nurani.
Sudah
seharusnya rakyat melek dengan keadaan sekitar kita. Apakah perilaku para calon
pemimpin yang akan kita pilih tersebut sudah benar atau belum. Meski kita tidak
boleh memberikan vonis baik atau tidak baik kepada seseorang, akan tetapi
dengan adanya banyak peristiwa yang kita hadapi, setidaknya rakyat Indonesia
ini tidak hanya dijadikan ladang oleh pihak-pihak yang memang suka sekali
menggunakan kesempatan dan kelemahan rakyat untuk kepentingan politik mereka.
Ini
bukan berarti kita boleh pesimis. Meskipun di berbagai daerah di Indonesia
dalam prosesi kepemimpinan daerah mengalami peristiwa yang sama, namun
masyarakat Indonesia harus tetap percaya diri untuk melangsungkan proses
kepemimpinan bangsa ini.
Sebagai
rakyat biasa mari kita tonton setiap episode pertengkaran politik antar
pemimpin kita, kita ambil hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut, jangan
sampai terjadi perpecahan di negara ini hanya karena kepentingan sesaat saja.
Yakinlah bahwa hari esok untuk negeri ini akan lebih baik daripada hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar