Semenjak lengsernya Soeharto, sebagai
penguasa tunggal yang berkuasa penuh atas Indonesia selama 32 tahun pada 21 Mei
1998 kerusuhan demi kerusuhan muncul secara sporadik di negeri tercinta ini.
Sebuah bentuk kekecewaan yang terluapkan dengan amarah membara rakyat
Indonesia. Namun, kita tidak menyadari bahwa ternyata yang dirugikan bukan
mereka yang sebenarnya menjadi sasaran kemarahan masyarakat akan tetapi
masyarakat itu sendiri.
Mengapa kita tidak belajar dari sejarah,
bahwa kekerasan dalam bentuk apapun yang rugi adalah diri kita sendiri,
lingkungan kita sendiri, bahkan negeri kita sendiri. Mengapa kita tidak menjadi
dewasa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin laksana seorang ksatria
yang berani mengakui kekurangan diri sendiri.
Ø Sudah Tradisi
Dalam sejarah Indonesia menyebutkan bahwa
sejak jaman Ken Arok mulai naik tahta dengan cara menumbangkan kekuasaan
Tunggul Ametung di Singosari kemudian mengangkat dirinya sebagai raja baru
kerajaan Singosari selalu diwarnai dengan aksi kerusuhan. Berlanjut kemudian
pada masa-masa selanjutnya, Raden Wijaya yang naik tahta sebagai raja pertama
Majapahit menumbangkan Jayanegara dengan cara licik yaitu berpihak kepada
tentara China kemudian menyerang dari belakang saat bala tentara Mongol
tersebut baru melakukan pesta kemenangan atas Jayanegara.
Tradisi kerusuhan (?)
Diakhir suatu kekuasaan tersebut berlanjut
hingga pada masa era kemerdekaan Indonesia. Ketika Soekarno turun tahta pada
tahun 1968 yang kemudian diganti oleh Soeharto, tidak kurang dari satu juta
penduduk Indonesia yang harus meregang nyawa meski mereka tidak tahu
kesalahannya apa pada masa itu.
Hal tersebut berulang kembali pada tahun 1998
yang lalu ketika sang Jenderal dipaksa turun oleh masyarakat Indonesia dari
tampuk kekuasaannya. Banyak sekali warga yang menjadi korban tidak hanya nyawa
akan tetapi banyak harta benda mereka di jarah oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab dan mementingkan perut mereka sendiri.
Tradisi kekuasaan ala pemerintahan Jawa
memang tidak lagi ada di Indonesia. Akan tetapi tradisi kerusuhan senantiasa
mewarnai setiap pergantian pemimpin di Indonesia, tidak hanya di tubuh sebuah
partai akan tetapi setiap terjadi perhelatan pemilihan kepala daerah Negara
Indonesia. Dan sepertinya pencarian pemimpin yang demikian menjadi momok baru
bagi pemilihan pemimpin daerah di Indonesia saat ini.
Rentetan peristiwa kerusuhan baik kecil
maupun besar tersebut terjadi tidak hanya di tubuh partai politik, bahkan
keributan dan tindakan yang tidak perlu dicontoh tersebut juga terjadi di
Gedung MPR. Seperti kata almarhum Gus Dur, tindakan para wakil rakyat
tersebut seperti anak TK bukanya membuat masyarakat nyaman namun malah
membuat resah.
Hampir 90% pemilihan kepada daerah di
Indonesia diwarnai dengan aksi-aksi tidak bertanggungjawab sebagai reaksi atas
ketidak puasan pemilih atas hasil pemilu. Ada
alasan karena kecurangan panitia, kecurangan saat penghitungan suara dan
sebagainya. Dan ujung-ujungnya adalah aksi kerusuhan terjadi di daerah dimana
dilaksanakan pemilihan daerah.
Banyak sekali contoh
untuk menjelaskan keadaan ini, belum selesai kerusuhan pemilihan Gubernur
Sulsel karena campur tangan MA, dan kemudian daerah–daerah lainnya ikut
menyusul dengan kejadian yang serupa. Bahkan pada pemilihan presiden 2009
kemarin, dimana pasangan SBY-Boediyono menang mutlak atas rival politiknya
Megawati-Prabowo dan pasangan Yusuf Kalla-Wiranto. Pihak yang kalah sepertinya
tidak mau mengakui secara jantan kekalahannya tersebut, justru mencari
kesalahan-kesalahan pihak yang menang dengan menunjukkan bukti-bukti yang
dianggap sebagai bentuk kecurangan dari pihak yang menang. Meskipu pada
akhirnya semua tuduhan itu tidak terbukti dimuka pengadilan.
Dan ada kemungkinan
peristiwa-peristiwa serupa juga menunggu di daerah-daerah lain. Sepertinya kejadian
kerusuhan sebagai akibat ketidakpuasan para pendukung calon sudah menjadi
tradisi yang mengakar di negeri ini.
Lantas bagaimana
solusinya agar setiap pesta pemilihan kepala daerah yang tujuannya adalah
memilih kepada daerah yang mampu memberikan perubahan bagi daerah benar-benar
dapat tercapai? Tidak malah sebaliknya membuat warga masyarakat seharusnya
aman, damai dan sejahtera menjadi panik, takut bahkan trauma dengan
kejadian-kejadian yang tidak diharapkan tersebut?
Ø Belajar Dewasa
Sekarang apa yang
seharusnya kita lakukan? Mengapa kita baru menyadari semua kejadian-kejadian
tersebut setelah semuanya terjadi? Mengapa kita tidak pernah melakukan
antisipasi akan terjadinya kejadian-kejadian tersebut? Sepertinya
memang kita tidak akan pernah dewasa dalam hal ini. Mengapa demikian? Alasannya
jelas sebab kita tidak pernah mau belajar dari kejadian-kejadian pada masa
lampau atau yang paling dekat adalah dengan kejadian-kejadian yang terjadi di
daerah lain di negeri ini.
Kita tidak usah
berkilah, dengan alasan-alasan yang tidak beralasan seperti kerusuhan terjadi
karena kecurangan dari salah satu calon kepala daerah, kerusuhan terjadi karena
karakter orang di daerah berbeda-beda atau sebenarnya semuanya telah di
antisipasi dengan sebaik-baiknya akan tetapi memang kejadian ketidakpuasan
tersebut tidak dapat diantisipasi sebelumnya dan sebagainya. Alasan-alasan
tersebut adalah bukti bahwa kita ini memang belum dewasa dalam demokrasi, belum
siap menerima setiap kekalahan yang menimpa diri kita, kelompok kita atau
kepentingan kita.
Apa sebenarnya yang
harus kita lakukan agar kejadian yang tidak kita harapkan tersebut tidak
terulang lagi? Jawabanya pasti kita harus belajar dewasa dalam berpolitik.
Salah satunya adalah dengan mencontoh negeri adikuasa seperti Amerika Serikat.
Bagaimana indahnya pelaksanaan demokrasi disana. Pemilihan Gubernur negara
bagian sampai pemilihan presiden mereka sepertinya berjalan wajar, antusias dan
hasilnya tetap dapat diterima dengan lapang dada oleh setiap calon dan para
pendukungnya apabila mereka mengalami kekalahan.
Mengapa mereka dapat
melakukan hal yang demikian? Padahal kita sama-sama melaksanakan prinsip
demokrasi, dimana setiap kekalahan dapat diterima dengan tanpa memberikan
alasan apapun sebab kekalahan adalah bagian dari sebuah demokrasi.
Lantas, apa yang harus
kita tiru dari Amerika yang disebut bapaknya Demokrasi Dunia?. Jawabanya jelas,
semuanya harus berawal dari diri kita masing-masing sebagai warga masyarakat,
peran kita sebagai peserta demokrasi dan lebih utama lagi adalah para calon
pemimpin di negeri ini.
Melakukan survey awal
apabila mau mengikuti perhelatan pemilihan, apakah rakyat benar-benar mendukung
kita dan mau menerima kita sebagai pemimpin mereka apabila nantinya dalam
pemilihan kita adalah kandidat yang akan memenangkan pemilihan tersebut. Jangan
mentang-mentang memiliki harta atau modal besar untuk maju dalam bursa calon
pemimpin lantas menggunakan kekayaan atau modal tersebut tanpa memikirkan
kapabilitas dan kapasitas kita sebagai seorang pemimpin. Semuanya berawal dari
sini, sebab seorang pemimpin tidak muncul dengan sendirinya tanpa ada kualitas
yang telah dibuktikan dan diakui oleh para pendukungnya.
Hal ini kelihatannya
memang sulit dilakukan sebab sepertinya orang Indonesia sekarang ini memiliki
prasangka terhadap diri mereka sendiri sebagai sosok yang benar-benar memiliki
kelebihan dibandingkan dengan sosok lainnya. Sehingga apapun yang terjadi meski
nantinya kalah dalam pemilihan mereka tetap maju, meski pada akhirnya mereka
akan mengalami banyak kerugian sebagai akibat mereka tidak bisa melihat diri
mereka sendiri. Menjauhkan sikap ”AKU” adalah salah satu akar masalah yang
harus kita tumbuhkan di negeri ini. Sebab dengan mengakui kekurangan kita, kita
akan menyadari apa nantinya yang akan terjadi andai saja kita tetap maju dalam
sebuah pemilihan pemimpin.
Memang tidak mudah
menjadikan diri kita dewasa dalam hidup ini sebab hidup memerlukan proses, akan
tetapi bagaimana memanfaatkan proses tersebut benar-benar merasuk dalam diri
kita adalah kunci utama dalam membangun demokrasi di negeri ini. Mengalah belum
tentu kalah, mungkin bisa dijadikan pedoman diri kita dalam hidup ini dalam
arti bukan menyerah sebelum bertanding atau menyerah sebelum kalah akan tetapi
dengan mengetahui kekurangan diri kita harapannya adalah kebaikan bagi semua
masyarakat.
Semoga kita bisa menjadi
bangsa yang benar-benar dewasa, dewasa ala Indonesia yaitu dewasa yang
mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar