Awal kepengurusan
organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktu yang tepat untuk mewacanakan
kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang kadang terlewatkan di antara
sebagian aktivis kampus. Padahal sebenarnya, ini selalu menjadi hal yang
menarik dan krusial, khususnya sebagai jawaban dari pertanyaan mau dibawa
kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini. Artikel ini memiliki tujuan untuk
melihat kembali perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawaran diagnosis bagi
gerakan ke depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saat melihat gerakan
mahasiswa saat ini semakin kehilangan arah dan basis massanya.
Gerakan
mahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang selalu
didengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru melenakan dan
menina-bobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan mahasiswa menuntut
adanya posisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana mahasiswa seharusnya
berada di tengah masyarakat. Menjawab soal tersebut, sebuah analisa tentang
posisi mahasiswa secara teoritis sangat dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya
dalam ’mengabdikan´dirinya pada masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme
gerakan mahasiswa saat ini membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai
landasan geraknya. Bukan untuk menjadikan mahasiswa berteori secara saklek
dan kaku, tetapi sebagai landasan gerak yang jelas bagi langkah ke depan.
Pentingnya teori dalam gerakan ini pernah dinyatakan Lenin, ‘Tanpa teori yang
revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.’
Ø
Belajar dari sejarah
Gerakan
mahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris. Gerakan ini
telah melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan geografis yang luas.
Artinya, gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya
dengan locus spesifik Indonesia. Justru, gerakan mahasiswa Indonesia
merupakan bagian dari kesejarahan gerakan mahasiswa secara luas di dunia.
Dalam sejarah,
secara umum gerakan mahasiswa Indonesia melegenda dalam masa-masa tertentu.
Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan dengan hapal momentum itu.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 diakui sebagai
tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun, sebenarnya, yang perlu
dilakukan mahasiswa Indonesia saat ini bukanlah mengagung-agungkan gerakan
mahasiswa pada masa itu dengan menyebut-nyebutnya secara heroik. Mengapa
demikian, karena perilaku itu justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada
romantisme masa lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak
menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan
sosial. Bukan bermaksud meremehkan peran mahasiswa pada masa itu, tetapi
pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam
pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin
mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusuk adalah tak mengubah
keadaan sedikit pun.
Hal yang perlu
dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas ‘mitos-mitos’ di atas dan
memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksi kembali apa
yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas
realitas sekarang. Secara real memang kondisi sosialnya jelas berbeda,
tetapi pola-pola pembacaan atas kondisi yang terjadi patut untuk dilihat.
Berangkat dari tesis bahwa gerakan mahasiswa bersifat historis, maka
belajar dari masa lalu adalah upaya mempelajari pola-pola gerakan tersebut
secara kritis. Hal ini perlu dilakukan agar wawasan tentang gerakan mahasiswa
tidak sempit. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari fakta sejarah yang telah
terukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa sebagai bahan analisa.
Mahasiswa
Amerika Latin adalah pemberi contoh yang baik bagaimana mahasiswa berperan
dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya Manifesto
Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak
mahasiswa yang pertama di dunia, dan sejak itu mahasiswa di sana memainkan
peran yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Manifesto Cordoba
adalah deklarasi mahasiswa yang menuntut adanya otonomi akademik universitas
dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas (cogobierno).
Hal ini berangkat dari adanya administrasi lama yang tidak pernah memberikan
ruang untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orang
ketakutan bila melakukan perubahan. Hal yang dinyatakan dalam manifesto
tersebut salah satunya, ‘Kami ingin menghapus dari organisasi universitas
konsep tentang otoritas yang kuno dan barbar, yang menjadikan universitas
benteng pertahanan tirani yang absurd.
Program
reformasi total yang diinginkan mahasiswa berusaha mendobrak pandangan
konservatif akan universitas, dengan memberikan independensi penuh pada
universitas dari kooptasi kepentingan politik pemerintah, juga memberikan
kesempatan mahasiswa untuk berbagi kekuasaan dalam kampus. Hal ini merupakan refleksi
atas kondisi sosial politis di Amerika Latin yang dikuasai pemerintahan
otoriter, yang jangkauan kekuasaannys juga masuk ke dalam ranah akademik
universitas. Kondisi yang demikian kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa
secara bertahap memperluas tuntutannya pada hal yang lebih bersifat politis,
yaitu perlawanan pada rezim yang otoriter. Hal ini karena adanya kesadaran
bahwa kebijakan universitas tersebut hanya sebatas symptom, perlu
penghajaran pada akar penyakitnya. Perlawanan atas rezim tersebut dilakukan
dengan membentuk berbagai aliansi dan front bersama buruh dan petani sehingga
dalam kenyataannya mahasiswa tidak bergerak sendiri. Dalam jangka waktu 20
tahun, perlawanan mahasiswa dari Argentina ini menyebar ke seluruh Amerika
Latin. Di Peru tahun 1919, Chili 1920, Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil dan
Bolivia 1928, Meksiko 1929, Kosta Rika 1930, dan Kuba pada tahun 1933 dan 1952.
Setiap negara memiliki karakternya masing-masing, sehingga tingkat keberhasilan
dan durasi pencapaiannya pun berbeda-beda. Ada yang menang dengan menggulingkan
rezim otoriter, ada juga yang hanya setengah-setengah dengan mendapatkan
otonomi sementara. Namun setidaknya, mahasiswa Amerika Latin mengajarkan kepada
kita jika tuntutan akademis dan aktivitas politik merupakan dua hal yang saling
melengkapi, bukan saling bertentangan.
Di Italia
perlawanan mahasiswa berawal dari Turin. Mahasiswa berhasil mengontrol
aktivitas fisik dan intelektual kampus mereka melalui kegiatan-kegiatannya
sendiri. Selama sebulan kampus berhasil di duduki (27 November 1967-27 Desember
1967), sebelum aparat menyerbu kampus tersebut. Sejak itu perlawanan
meluas ke beberapa kota sepanjang jazirah Italia. Alasan utama mahasiswa
melakukan perlawanan adalah karena kondisi akademis yang otoriter. Tradisi pedagogi
dan kurikulum menjadikan profesor-profesor di sana dapat mengajar dengan
seenaknya sendiri, misalnya, para professor di sana memberi kuliah dengan
diktat yang ditulisnya sendiri dan ujian hanya diambil dari diktat tersebut.
Tak ada ruang diskusi yang bebas dan kesempatan belajar dari sumber lainnya.
Selain itu, kurikulum yang disusun sangatlah kuno, seperti silabus kuliah ilmu
politik yang hanya sampai pada pemikiran JJ. Rousseau. Keterbatasan dan
kekakuan akademis ini membuat mahasiswa ‘terkurung’ dalam kegiatan akademisnya
sendiri. Oleh karena itu, agenda utama perlawanan mereka adalah kritikan atas
kondisi akademis tersebut. Untuk mencapai itu, gerakan mahasiswa berusaha
memperluas jangkauannya dengan keluar dari Turin, tentu dengan mengubah tuntutan
secara praktis menjadi ‘Lawan Otoriterianisme.’ Tujuannya jelas agar diikuti
seluruh mahasiswa di Italia. Efeknya dalam dua bulan (Januari-Februari 1968),
gerakan mahasiswa ini meluas hingga seluruh kota di Italia. Tidak hanya
terdiri dari elemen mahasiswa saja, tetapi juga pelajar dan para buruh FIAT.
Hal ini kemudian menyita perhatian publik dan membuat pemerintah tak tinggal
diam. Represivitas terjadi dalam menghentikan perlawanan ini, sehingga
setidaknya 2000 mahasiswa ditangkap dengan berbagai tuduhan. Kenyataan gerakan
di Italia ini kemudian berhasil mengubah struktur akademis dan memaksa para
professor melihat kembali kurikulum di dalam kampus. Juga mengubah kebijakan
pendidikan nasional ke arah yang lebih egaliter dan terbuka.
Gerakan
mahasiswa di Spanyol dilatarbelakangi dua hal, yaitu krisis dan perlawanan
terbuka kepada rezim Franco dan kondisi internal Universitas. Secara umum,
mahasiswa merupakan entitas yang kecil di Spanyol pada tahun 1965. Kondisi ini
disebabkan oleh mahalnya biaya kampus dan sedikitnya subsidi dari pemerintah,
sehingga mahasiswa dari kalangan buruh dan petani sangatlah kecil padahal
mayoritas masyarakat berasal dari dua kelas tersebut. Hal ini kemudian
diperparah dengan sulitnya mencari pekerjaan bagi para sarjana setelah lulus
dari kampus.
Selain kondisi
di atas, kooptasi rezim Franco dalam kampus sangatlah besar, termasuk dalam
serikat mahasiswa. Hanya satu serikat mahasiswa yang diakui di Spanyol, yaitu
Sindicato Espanol Universitario (SEU). Pimpinan serikat ini dipilih oleh
pemerintah, meski akhirnya diberikan keleluasaan pada mahasiswa untuk memilih
sendiri. Namun, mahasiswa tidaklah puas dengan hal tersebut dan kemudian mereka
membuat serikat baru yang dinamakan Federacion Universataria Democratica de
Espana (FUDE) dan ADEC. Keduanya kemudian melebur menjadi Confederacion
Democratica de Espana (CUDE). Setelah terbentuknya serikat baru ini, mahasiswa
mulai berani mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal
serikat mahasiswa di kampus. Kritik mereka pada sistem Universitas kemudian
merembet pada isu politik nasional. Reli-reli protes selalu dihadapkan pada
bentrokan dengan aparat kepolisian. Guna menghadapi itu, mahasiswa kemudian
membuka jaringan dengan buruh karena memiliki kesamaan isu, yaitu kebebasan
berserikat. Rezim Franco yang fasis dan totaliter dijadikan musuh bersama
karena memang dianggap sebagai akar masalah. Aliansi ini disahkan dengan mogok
bersama pada tanggal 1-3 Mei 1968. Hal ini kemudian berakibat pada bentrokan
dan penagkapan besar-besaran pada aktivis mahasiswa dan buruh. Namun perjuangan
bersama antara mahasiswa dan buruh terus berjalan hingga rezim Franco runtuh.
Gerakan
mahasiswa juga terjadi di Perancis, yang paling terkenal pada tahun 1968.
Banyak versi yang menceritakan hal ini, namun bila mengikuti alur cerita dari
Ernest Mandell, faktor utama dari protes mahasiswa di Perancis adalah adanya
alienasi dalam kehidupan mahasiswa yang disebabkan oleh kampus. Mahasiswa
dihadapkan pada sistem, struktur, dan kurikulum yang membuat mahasiswa semakin
terk-eksklusi dari kehidupannya sendiri. Kampus membuat sistem ‘proletariat
baru’ sehingga mereka tak diperkenankan dalam menentukan kehidupannya di kampus
dan berpartisipasi dalam menentukan kurikulum. Semua sistem, struktur, dan
kurikulum ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Mahasiswa tidak
belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, tetapi diatur secara sistemik dalam
kerangka besar untuk memenuhi kebutuhan industri. Hal ini kemudian menjadikan
mahasiswa mulai protes terhadap kampusnya terkait permasalahan kampus. Setelah
beberapa waktu, akhirnya mereka menyadari jika akar permasalahan bukanlah di
kampus, tetapi sistem yang mengatur masyarakat secara luas, kampus dianggap
hanya salah satu bagian dari masyarakat. Pola perlawanan pun bergeser. Mahasiswa
kemudian berafiliasi dengan buruh dan elemen masyarakat lain untuk menentang
sistem yang menyebabkan ‘alienasi’ tersebut, yaitu kapitalisme. Perlawanan
meluas tak hanya di kampus saja, tetapi hampir di seluruh wilayah
Perancis. Pertarungan ini naik-turun selama periode 1968 dan mempengaruhi
kenyataan politik di Perancis masa itu.
Ø
Berangkat dari Realisme, Menuju Emansipatoris
Bila kita perhatikan
bersama terdapat beberapa pembelajaran dari gerakan mahasiswa di atas.
Pembelajaran ini berkaitan dengan pembacaan realitas atas kondisi. Dari
beberapa kasus, setiap gerakan mahasiswa umumnya berangkat dari permasalahan
yang ada di sekitar mereka, hal itu kemudian diabstraksikan ke arah yang lebih
mendasar untuk mencari akar masalahnya. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa
selalu bermula dari realitas di sekitarnya, dari sesuatu yang real, dan
kemudian diproblematisasi. Bila mengikuti logika ini, maka gerakan mahasiswa di
atas melihat permasalahan dengan kacamata realisme kritis.
Berangkat dari
realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan. Lantas kemudian timbul
pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai realitas? Atau apakah yang
disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari kita bedah apa yang disebut dengan
realisme. Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat kenyataan sebagai
hal yang terpisah dari diri pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadi sesuatu
yang ada secara in heren di luar diri pelaku, walau pelaku itu ada atau
tidak. Hal ini berbanding terbalik dengan idealisme yang melihat kenyataan
sebagai sesuatu yang ada karena idea di kepala mengatakan hal tersebut
ada. Artinya, kenyataan ditetukan oleh pikiran atau anggapan seseorang. Dari
perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jika permasalahan sosial sebagai
sesuatu yang ada secara real di luar diri mereka. Ada atau tidak adanya
gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu ada di masyarakat. Melihat hal
tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul sebagai respon terhadap hal
tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kemunculan gerakan mahasiswa tidak selalu
disyaratkan secara deterministik oleh permasalahan secara real itu.
Realisme kritis
sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis, yaitu (a) realitas empirik
(realitas yang dapat dijumpai dengan panca indera), (b) realitas aktual
(realitas yang dijumpai dalam ruang dan waktu), dan (c) realitas ‘real’
(realitas yang bersifat transfaktual dan lebih bertahan daripada persepsi kita
karena ia berisi struktur yang memiiliki kapasitas kuasa dan menjadi dasar
terdalam dari peristiwa-peristiwa yang diobservasi muncul). Hubungan dari
ketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat. Artinya realitas (a)
disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh realitas (c). Sehingga,
realitas (a) merupakan manifestasi secara empirik dari realitas (c). Oleh
karena itu, realisme kritis selalu mensyaratkan untuk mendapatkan
realitas yang ‘real’ atau sejati dalam fenomena sosial, maka dibutuhkan
sebuah cara untuk melampaui realitas empirik dan realitas aktual tadi dan
berusaha tak terjebak dalam keduanya. Hal ini seperti apa yang dipaparkan Roy
Bhaskar, bahwa pertama, dunia ada secara independen dari
anggapan-anggapan kita terhadapnya sekaligus terdiferensiasi dan
terstratifikasi; kedua, fenomena sosial muncul dari dalam relasi
struktur menjadi aktual kemudian tampil secara empiric; ketiga, sehingga
untuk mempelajari fenomena sosial, seseorang harus memulai dari bidang empirik,
tetapi tidak boleh berhenti di situ saja melainkan harus terus bergerak ke
bidang aktual hingga mendapatkan pemahaman di tingkat relasi-relasi terdalam
dari struktur, yaitu kuasa.
Melihat
pengalaman dari gerakan mahasiswa di atas, gerakan mahasiswa dapat dikatakan
berangkat dari realitas empirik karena permasalahan yang di hadapi dapat
ditangkap oleh pancaindera dan langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Di
Amerika Latin hal itu dimulai dari permasalahan otonomi akademik, di Italia
dari otoritarianisme akademik, di Spanyol karena kekangan berorganisasi, dan di
Perancis karena ‘proletarianisasi’ kampus. Semuanya berangkat dari permasalahan
yang empirik di hadapan mereka. Namun, seperti paparan Bhaskar tadi, untuk
mendapatkan realitas yang ‘real,’ mereka tidak berhenti pada tataran permasalahan
empirik saja, tapi terus melaju untuk melewati permasalahan aktual dan menuju
permasalahan terdalam yang berasal dari relasi struktur, yaitu kuasa. Oleh
karena itu, gerakan mahasiswa dari Amerika Latin, Italia, Spanyol dan Perancis
kemudian menyadari jika permasalahan yang terjadi di dunia akademik mereka
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terdapat realitas lain yang menjadi
sumber permasalahan mereka, permasalahan inilah yang disebut sebagai realitas
‘real.’ Realitas ‘real’ berhubungan dengan relasi kuasa secara struktural yang
menjadi akar permasalahan itu. Itulah mengapa kemudian mereka bergerak maju
menuju sesuatu yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan yang sejati
atau ‘real’ tersebut. Di Amerika Latin gerakan mahasiswa kemudian menuntut
dijatuhkannya otoritarianisme pemerintah, di Italia menuntut sistem akademik
dalam tingkat nasional, di Spanyol menyerang fasisme Franco, dan di Perancis
kemudian menyerang sistem kapitalisme pendidikan. Hal itu dilakukan saat mereka
menemukan realitas ‘real’ tersebut dalam konteks saat itu.
Pembelajaran
yang didapatkan dari pembacaan realitas yang telah dilakukan oleh kawan-kawan
gerakan mahasiswa beberapa tahun lalu, dapat memberikan gambaran kepada gerakan
mahasiswa sekarang untuk melihat permasalahan secara kritis. Berangkat dari
realisme, dalam hal ini tentu dengan asumsi realisme kritis, adalah untuk
mendapatkan gambaran struktur permasalahan sosial dengan kacamata ontologisme
tersebut. Jargon bahwa mahasiswa berangkat dari realisme harus dijabarkan
dengan asumsi seperti di atas. Mahasiswa berangkat dari realitas atau fenomena
sosial secara empirik kemudian menuju sesuatu sesuatu yang ‘real,’ yang menjadi
akar permasalahan tersebut. Sekaligus tidak terjebak dalam realitas empirik dan
aktual saja. Pembacaan realitas yang demikian, menurut saya, tak hanya
untuk permasalahan yang tunggal saja. Analisa terhadap perkembangan isu sosial
kemasyarakatan yang berlangsung secara paralel perlu untuk dilakukan dengan
analisa seperti di atas, sehingga gerakan mahasiswa tak hanya berkutat pada
satu isu ke isu lainnya saja, yang itu sebenarnya hanya realitas empirik. Perlu
penarikan secara ontologis untuk melihat realitas ‘real’ yang terjadi.
Permasalahan ‘real’ ini yang menjadi basis permasalahan untuk dihajar.
Penjabaran satu
bagian telah dilewati, yaitu berangkat dari mana gerakan mahasiswa. Maka
selanjutanya yang perlu kita upas, menuju kemanakah gerakan mahasiswa ini?
Setelah realitas ‘real’ didapatkan lantas untuk apa diselesaikan?
Dalam pikiran
saya, perjuangan gerakan mahasiswa menuju pada satu kata, yaitu emansipatoris.
Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk humanisasi kehidupan manusia.
Dalam pengertian humanisasi, pembebasan manusia dari belenggu yang diciptakan
permasalahan secara ‘real’ tadi berusaha dilepaskan. Perjuangan emansipatoris
berkaitan dengan sisi aksiologis dari ilmu pengetahuan yang menjadi domain
mahasiswa selama ini. Dengan perjuangan emansipatoris, ilmu pengetahuan tak
hanya berkutat di dunia kampus dan bebas nilai dalam menilai permasalahan. Ilmu
pengetahuan yang emansipatoris mensyaratkan keberpihakan dan berusaha
menyelesaikan permasalahan yang ada. Begitu pula gerakan mahasiswa sebagai
bagian dari civitas akademika, maka keberpihakan dan terlibat dalam
penyelesaian masalah sosial menjadi hal yang terhubung dengan perjuangan
emansipatoris.
Dalam diri
emansipatoris ini, keberpihakan menjadi arahan untuk menciptakan kesetaraan
bagi subyek yang diperjuangkan. Selain itu, keberpihakan menjadi jaminan jika
perjuangan mahasiswa bukanlah hal yang bebas nilai dan nihil. Terdapat subyek
yang menjadi dasar analisa bagaimana perjuangan diarahkan dan ukuran
kemenangannya. Sedangkan, aspek keterlibatan dalam penyelesaian masalah menjadi
domain pembebasan bagi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa. Pembebasan
ini merupakan langkah humanisasi dari belenggu permasalahan ‘real’ di atas.
Dalam perjuangan emanispatoris ini, gerakan mahasiswa dituntut untuk terus
kontinyu dalam denyut gerakan sosial masyarakat.
Hal tersebut
dapat kita lihat dari pembelajaran gerakan mahasiswa di atas, bagaimana
perjuangan mereka diarahkan ke perjuangan emansipatoris. Gerakan mahasiswa
setelah menemukan realitas ‘real’ nya, diarahkan untuk membebaskan diri dari
belenggu itu, sekaligus menggabungkan diri dengan sektor lain di masyarakat
untuk menghapuskan belenggu yang dihasilkan oleh realitas ‘real’ tadi.
Penggabungan diri ini dilakukan karena pada umumnya permasalahan ‘real’
merupakan akar permasalahan bagi banyak permasalahan empirik yang sifatnya
multi sektoral. Oleh karena itu, menurut saya, perjuangan emansipatoris tak
dapat dilakukan dengan sendirian oleh gerakan mahasiswa. Penggabungan diri
dengan gerakan lain di masyarakat perlu dilakukan dalam rangka pembebasan
belenggu dari permasalahan yang berakar pada relasi struktur tadi.
Ø
Akhirnya
Melalui tulisan
ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang dilakukan gerakan mahasiswa di
berbagai belahan dunia menjadi hal yang penting. Setidaknya, bagaimana gerakan
ini berangkat dan menuju ke arah mana. Analisa atas hal tersebut perlu
mendapatkan porsi yang seimbang dalam dunia gerakan mahasiswa sekarang agar
tak menjadi ‘kerbau liar’ dalam dunia gerakan masyarakat.
Dengan analisa
di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini harus berangkat dari
realisme dan menuju perjuangan emansipatoris. Dengan ini berarti menyadari jika
permasalahan sosial telah ada di luar sana, maka hal yang perlu dilakukan
berikutnya adalah analisa untuk menemukan relasi-relasi struktur yang menjadi
akar permasalahan sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal ini
yang dimaksudkan dengan term Berangkat dari Realisme. Selanjutnya, adalah
pengarahan untuk menuju arena pembebasan yang dilakukan secara bersama-sama
dengan elemen masyarakat lain untuk menuju sebuah perjuangan yang emansipatoris.
Perjuangan ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu
permasalahan yang diciptakan oleh permasalahan ‘real’ tadi. Hal demikian
menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa saat ini. Penjelasan tersebut, yang
menurut saya, menjadi jawaban dari mana dan kemanakah arah gerakan mahasiswa
saat ini (harus) bergerak!!!!!!!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar