Sebelumnya
dalam perjalanan untuk menentukan keputusan pada sidang paripurna DPR
masyarakat Indonesia kembali disuguhi adegan yang tidak mendidik. Sidang
paripurna DPR kembali diwarnai kericuhan, penyebabnya Marzuki Alie sebagai
Ketua DPR yang berasal dari Partai Demokrat sekaligus pemimpin sidang dianggap
bertindak otoriter karena mengetuk palu sidang untuk mengakhiri sidang tanpa
ada konsultasi dan persetujuan dari 3 wakil Ketua DPR lainnya yang kemudian
diikuti oleh anggota DPR yang berusaha untuk memutuskan hasil pansus Century.
Kejadian
kericuhan di dalam gedung DPR ini memang bukan untuk yang kali pertama,
sebab pada masa-masa sebelumnya kejadian tersebut pernah terjadi. Tiga wakil
Ketua DPR kemudian mengadakan konferensi pers tentang kejadian yang
berlangsung, ketiga-tiganya menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPR
tersebut.
Kini
masalah lain muncul sebagai tandingan atas riuhnya tudingan partai politik yang
berseberangan dengan pemerintah yaitu masuknya 19 tokoh teras PDI Perjuangan
yang tersangkut masalah pengangkatan Deputi Senior Bank Indonesia Miranda
Goeltom. Kini bukan lagi Partai Demokrat yang dilanda keresahan namun PDI
Perjuangan-lah yang dibuat resah dengan munculnya kasus tersebut. Inikah budaya
tribalisme (paham yang mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya
dengan mengorbankan pihak lain yang berseberangan ideologi, kepentingan maupun
politiknya) yang diajarkan oleh para pemimpin dan wakil rakyat kepada rakyat
Indonesia?
Ø
Budaya
Tribalisme
Birokrasi
dan lembaga kepartaian di negeri ini seperti sedang menderita sakit dengan obat
yang over dosis, sehingga seolah berubah menjadi gurita yang memakan dirinya
sendiri. Gejala tribalisme bisa dilihat dari perilaku KKN di dalam tubuh proses
reformasi yang cenderung saling menghancurkan diantara kekuatan reformasi itu
sendiri (Abdul Munir Mulkan. 2003:24). Hal ini dapat menjelaskan mengapa krisis
nasional multi wajah yang sudah berlangsung beberapa tahun belum juga diatasi,
bahkan meluas pada krisis moralitas dan kepercayaan sosial.
Lihatlah
kasus-kasus besar yang akhir-akhir ini dipertontonkan oleh para pemimpin negeri
ini. Praktek KKN, kriminalisasi kasus untuk kepentingan politik pihak tertentu,
pengemplangan pajak, pelanggaran hukum untuk pemuasan diri, atau bahkan
kasus-kasus yang melanggar norma meskipun mengatasnamakan undang-undang dan
masih banyak lagi contoh lainnya yang memperlihatkan kebobrokan dunia hukum dan
politik di negeri ini.
Justru
keadaan kontras terjadi di sisi dan tempat lain yang berbeda yaitu di kehidupan
rakyat bawah. Betapa takutnya masyarakat kecil untuk melakukan hal-hal kecil
yang dianggap melanggar norma dan hukum karena mereka takut akan hukuman yang
akan mereka terima yang tentu sangat tidak adil dan tidak sebanding dengan pelanggaran
yang mereka lakukan.
Sungguh
akan terjadi bila saja negeri ini memperbolehkan rakyatnya untuk melakukan
penegakan hukum dengan tangannya sendiri, seperti seorang pencuri ayam yang
harus babak belur atau bahkan harus mati terpanggang ketika aksinya
dipergoki oleh warga. Dan bayangkan berapa banyak jumlah pejabat negeri ini
yang akan mengalami peristiwa yang serupa jika saja para koruptor dilepas di
pusat-pusat keramaian tentu dia akan segera menjadi bulan-bulanan massa dan
tidak lama kemudian akan menjadi mayat yang tidak ada harganya. Mengapa
keadilan di negeri ini begitu sulit ditegakkan?
Seberapa
besar perhatian para pemegang kekuasaan untuk memperhatikan kondisi masyarakat
yang pada awal perjalanan karier mereka rakyat adalah pendukung dan ladang
pendulangan suara. Mana janji yang pernah mereka sampaikan dalam kampanye
politik menuju tampuk kekuasaan tersebut? Benarkah politik Tribalisme di negeri
ini telah menjadi sebuah tradisi yang mengakar dan tidak akan dapat dihilangkan?
Tulisan
ini bukan bermaksud untuk memprovokasi atau memanipulasi keadaan, namun lebih
kepada keinginan agar keadilan benar-benar ditegakkan oleh para penguasa negeri
ini, bukan keadilan yang tebang pilih atau keadilan untuk kepentingan tertentu.
Ø
Rakyat
yang Malang
Masyarakat
kecil atau yang biasa disebut rakyat, dari dulu mungkin tidak akan pernah
berubah kondisi kehidupannya selama para pemegang kekuasaan masih menganggap
bahwa kekuasaan mereka itu adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh diganggu
serta digoyang oleh siapa pun, bahkan oleh rakyat yang merupakan pemilik
kekuasaan yang sesungguhnya. Pandangan bahwa kekuasaan adalah amanat Tuhan
memang bisa dijadikan dasar bagi sebuah kekuasaan. Namun, keyakinan yang
sama juga dengan mudah berarti tidak mungkinnya manusia mengganggu gugat
atau mengontrol kekuasaan kecuali Tuhan sendiri.
Dalam
hubungannya itulah kekuasaan negara atau kebangsaan begitu gampang menjadi
penindas, diktator dan tirani. Inilah nasib kaum proletar tersebut di
Indonesia, dari jaman kerajaan, penjajahan dan kemerdekaan keadaan tersebut
tidak pernah berubah, bahkan lebih mengenaskan.
Kaum
proletar memang ditakdirkan menjadi manusia yang malang, mereka hanya dijadikan
pelengkap kehidupan dan pemenuhan ambisi orang-orang kaya atau pejabat dan
mereka harus mampu bangun dan bekerja untuk kehidupannya sendiri. Mereka harus
mampu mempertahankan amanat untuk terus meneruskan generasi, meskipun
tertatih-tatih dalam menjalani hidup namun mereka masih berusaha keras agar
tidak terlindas oleh kejamnya kehidupan. Kehidupan kejam yang sudah terkonsep,
kehidupan yang mungkin dalam anggapan mereka akan sulit diubah kecuali oleh
orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Ketidakmanpuan
rakyat merumuskan kepentingannya terutama melalui permainan politik, menjadikan
apa yang dilakukan oleh rakyat seringkali menimbulkan kesulitan dan persoalan
yang lebih rumit. Sementara itu, banyak di antara rakyat kebanyakan tidak mampu
memahami apa yang sesungguhnya yang sedang mereka hadapi dan peroleh. Sayangnya,
dalam banyak kasus aktifitas dan partisipasi rakyat yang demikian itu justru
dianggap sebagai tindakan yang merongrong kewibawaan pemerintah, mengganggu
stabilitas nasional dan tidak bersedia berkorban untuk kepentingan umum atau
negara.
Dalam
kondisi yang demikian tidak ada yang dapat dilakukan oleh kaum proletar kecuali
mengalah kepada keadaan. Adilkah ini? Sungguh ketidakadilan tidak
bisa ditegakkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan tidak memiliki mentalitas
yang baik, khususnya untuk merubah keadaan yang tidak adil tersebut menjadi
keadaan yang benar-benar berkeadilan. Keadilan yang benar-benar bisa dirasakan
oleh semua pihak.
Ø Mentalitas Baru
Anomi
kehidupan, mungkin itu yang terjadi sekarang ini. Sebuah ketidakpedulian
individu terhadap kehidupan di sekitarnya karena individu-individu tersebut
merasa bahwa orang lain disekitarnya sudah tidak peduli lagi dengan dirinya,
buat apa mereka peduli dengan orang lain sementara yang dipedulikan tidak lagi
peduli dengannya. Perubahan kehidupan yang cepat yang kemudian mereka cari
dengan mencari pelarian yang tidak bertanggungjawab. Mereka merasa gagal dalam
hidup ini yang kemudian membawa mereka kedalam kehidupan yang tidak
bertanggungjawab.
Anggapan
bahwa pemerintah tidak lagi memiliki kepedulian kepada rakyat kecil, mungkin
akan menjadi salah satu factor yang akan menyebabkan sifat anomi tersebut.
Masalah-masalah yang seharusnya diurus oleh pemerintah seperti kesejahteraan,
kesehatan, pendidikan sepertinya jauh panggang dari api. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan
lagi adalah anggapan mereka yang di atas sana (legislatif dan eksekutif) hanya
memperkaya diri sendiri, mewakili diri sendiri dan bukan untuk menyejahterakan
dan mewakili rakyat yang menjadi konstituennya.
Kegagalan
manusia saat ini merupakan buah dari kegagalan pendidikan dinegeri ini dimasa
yang lalu. Mentalitas yang terbentuk saat ini adalah mental-mental penerabas
untuk kepentingan sesaat. Banyak kasus di negeri ini yang harus berakhir di
penjara, karena memang dari awal oleh para pelaku sadar atau tidak sadar sudah
mempersiapkan diri mereka untuk mengantre menjadi penghuni hotel prodeo
tersebut. Beberapa pejabat yang tersangkut kasus korupsi misalnya, mereka lebih
memilih tinggal di penjara dalam waktu yang cukup lama daripada harus mengembalikan
uang hasil korupsi yang mereka lakukan selama mereka menduduki jabatan politik
tertentu. Perhitungan mereka bukan lagi kepada moralitas akan tetapi lebih
kepada perhitungan ekonomi.
Lantas
apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mentalitas menerabas ini? Apakah
kita harus melakukan amputasi terhadap sebuah generasi? Jawabannya tentu
bukan itu. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah dengan cara memperbaiki
sistem pendidikan kita, terutama pendidikan moral, akhlak, dan pendidikan
agama. Bangsa ini berbeda dengan bangsa lain dimana pun di belahan dunia ini,
sehingga kita berhak untuk memberikan pendidikan yang benar-benar sesuai dengan
karakteristik bangsa ini. Bangsa ini harus mampu membangun mentalitas baru,
mentalitas yang berorientasi pada proses bukan tujuan.
Perlu
keberanian dan ketulusan dari pemegang kekuasaan untuk menjadikan dirinya
sebagai motivator sekaligus pemegang kendali di garda depan untuk merubah semua
problematika kehidupan perpolitikan dan etika bernegara di negeri yang kita cintai
ini. Kehidupan yang dipenuhi rasa peduli dan saling mendorong kearah kebaikan
bukan kearah yang menyebabkan hancurnya bangsa ini. Semoga bangsa yang kita
cintai ini dapat melalui masa-masa sulit seperti ini dan menjadi negeri yang
benar-benar dapat dijadikan kebanggan bagi seluruh masyarakatnya. Semoga
terlaksana Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar